Ada yang aneh dengan bentrokan yang terjadi di Ambon, Ahad (11/9) lalu. Keanehan itu bisa dirasakan, ketika insiden berdarah itu bertepatan dengan moment 11 September, sebuah peristiwa yang mengguncang warga Amerika Serikat dan masyarakat internasional. Ada upaya untuk mensetting dari moment 11 September tersebut.
Demikian dikatakan Presidium Mer-C Joserizal Jurnalis, SpOT kepada voa-islam menanggapi bentrok fisik dua kelompok massa yang dipicu oleh tewasnya seorang tukang ojek bernama Darmin Saiman, Sabtu (10/9) lalu.
Tewasnya Darmin Saiman, si tukang ojek di kawasan Gunung Nona, tentu membuat reaktif umat Islam di Ambon. Mengingat, Gunung Nona merupakan kawasan yang banyak dihuni oleh kalangan Nasrani. Tidak aneh, tewasnya Darmin menimbulkan reaksi yang begitu cepat. Diperparah lagi, banyak desa-desa Muslim yang diserang, bahkan ada masjid yang dibakar.
“Saya melihat, ada upaya untuk mengalihkan isu. Ketika pemerintah telah kehabisan isu, isu teroris tak lagi menarik, maka diciptakanlah isu yang bisa mengalihkan masalah,” ujar Joserizal Jurnalis yang pernah bertugas melakukan pertolongan dalam beberapa wilayah konflik, antara lain di Maluku, Mindanao, Afghanistan, Irak, dan Gaza.
Kabar yang Joserizal dengar dari pihak keluarga korban, helm milik tukang ojek yang tewas itu dalam keadaan utuh, tapi kepalanya pecah karenanya adanya benturan pukulan. Begitu juga ada luka tusuk di punggungnya.
Dengan kabar ini, menunjukkan bahwa tewasnya Darmin Saiman bukan dikarenakan kecelakaan, seperti dijelaskan oleh pihak kepolisian, melainkan dibunuh. Karena itu, Joserizal mendesak pihak kepolisian agar melakukan otopsi ulang dan menjelaskan kepada publik dan media dengan sejujur-jujurnya, tentang apa yang sesungguhnya terjadi.
Menurut Joserizal, pemicu yang sebetulnya sepele itu, menjadi penyebab kerusuhan di Ambon acapkali terjadi. Dahulu, awalnya juga dipicu oleh pengemudi angkot yang berkelahi. Ditambah lagi, karakter orang Ambon yang begitu panasan dan mudah terpancing.
Pelagandong Pendekatan Kolonial
Ketika ditanya, kenapa Ambon selalu menjadi kelinci percobaan untuk diciptakan sebagai kawasan konflik antara kelompok Islam dan Kristen? Joserizal menilai, Ambon adalah pintu masuk para penjajah untuk menguasai Maluku. Sikap frustasi penjajah bisa dirasakan ketika mereka selalu gagal berkonkonfrontasi dengan kekuatan senjata. Lalu digunakanlah pendekatan kultural, yakni tradisi Pela Gandong. Boleh dibilang, Pela Gandong inilah upaya penjajah Belanda untuk meredam aksi jihad umat Islam untuk melakukan perlawanan .
Terkait bentrok fisik di Ambon yang menyebabkan kaum muslimin terancam, masjid dibakar, desa-desa kawasan Muslim diserang, banyak ikhwan yang mulai merapatkan barisan kembali untuk melindungi kaum muslimin di Ambon.
Namun, Joserizal minta kepada umat Islam, terutama para ikhwan, agar bersabar lebih dulu. Ia berpesan, agar jangan cepat terpancing. Bisa saja, ini adalah jebakan dan pancingan dari pihak yang tidak senang dengan Islam. Bila kita terpancing, bisa saja umat Islam yang bersemangat untuk membela saudaranya di Ambon, akan dihabisi dengan menggunakan isu teroris.
Joserizal belum bisa memastikan, situasi di Ambon bisa kembali redam. Menurutnya, itu bergantung penanganan pihak aparat agar bentrokan tidak meluas ke mana-mana. “Terpenting adalah mengupayakan untuk memberi ganti rugi kepada pihak korban yang kebanyakan menimpa umat Islam.”
Pasca bentrokan Ambon, Joserizal mengaku telah diminta masyarakat di sana untuk datang ke Ambon. Tapi, kata Joserizal, ia akan melihat 1-2 hari ini. Jika dalam dua hari Ambon belum kondusif, ia akan mengatakan ke datang Ambon.